Minggu, 06 Januari 2013

Logika Atau Perasaan?

Google

Heyyy temans blogger... Gue mau berbagi seputar kegalaun gue (?) Hahahaha... So, udah tau kan kalau gue tergabung dalam suatu organisasi, bahkan menduduki jabatan tertinggi.
Okay, dalam sebuah organisasi, well, kehidupanlah, ga mungkin dong berjalan lurus mulus tanpa hambatan dan rintangan yang menghalangi? Yap!! Aapapun masalah yang gue hadapi dalam berorganisasi selalu bikin gue galau. Karena, masalah itu harus gue selesaikan melalui jalur logika atau perasaan (?).
Yeah... Banyak yang bilang ke gue, “Organisasi itu main otak Dit, logika, bukan perasaan”. Gue klarifikasi dikit, ‘prerasaan’ yang dimaksud bukan ‘perasaan suka’ kepada sesama anggota/mantan anggota ya. Tapi lebih ke-perasaan yang dirasain terus-menerus, kepikiran akan masalah yang dihadapi. Harus gue akui kalau omongan orang-orang memang benar. Lebih cepat menyelesaikan masalah menggunakan logika daripada perasaan, biar masalah yang dihadapi cepat selesai dan ga berlarut-larut.
Dengan logika, kita bisa memecahkan masalah dengan baik dan bijaksana demi kebaikan bersama secara profesional. Tapi, jalur logika juga bisa menyebabkan keegoisan juga loh.. Karena, logika itu tidak berdasarkan hati nurani. Seperti contoh : Dalam organisasi yang gue pimpin, gue mendapat banyak masukan yang bagus dari orang diluar organisasi, tapi masukannya ga sesuai dengan sikon organisasi gue. Gue ngambil keputusan untuk tidak merealisasikan masukan itu karena, “Hey... Gue ketuanya loh... Gue berhak memutuskan apapun karena gue orang dalam, gue lebih tau keadaannya. So, thanks buat masukannya. But sorry karena ga bisa gue laksanakan”. Nah... Egois kan gue, ga mikirin perasaan yang kasi masukan. Padahal jelas-jelas masukannya bagus. Dan yang kasi masukanpun mungkin pernah melaksanakan yang diucapknnya.
Dan sekarang perasaan, kita memecahkan masalah dengan hati nurani yang manusiawi, dengan memikirkan perasaan orang sekitar agar tidak terluka. Dengan begitu kita tidak terkesan egois. Tapi biasanya perasaan itu bikin galau -,- Terus-menerus tuh kita pikirin masalah. Contohnya sama deh kaya yang tadi, bedanya gue melaksnakan masukan itu karena, “Masukanya bagus, tapi ga sesuai sikon. Yaudahlah gue coba dulu, ga ada salahnya kok nyoba. Toh mereka kasi masukan juga karena mereka care sama rganisasi gue. Yaudah deh coba”. Nah loh, bingung juga kan. Coba melaksanakan tapi bingung cara menjalankannya gimana, jadi tetep kepikirankan.
Nahh... Itu kegalauan yang gue rasain dalam memecahkan masalah. Biasanya perempuan itu identik dengan dengan perasaan, dan laki-laki identik dengan logika. Yup!! Gue percaya, karena gue juga merasa. Tapi gue juga tetep memiliki logika lohh. Yah... gue terkadang terus-menerus mikirin masalah tanpa menindaklanjuti penyelesaiannnya. Alhasil jadi berlarut-larut dah tuh masalah. But actually, meskipun kepikiran sampe berlarut-larut, gue tetep memikirkan hal terbaik untuk menanggapi masalah yang dihadapi agar tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Gue terus memikikirkan penyelesaian yang terbaik dengan tepat namun tidak ada pihak yang kecewa karena merasa tidak adil. Terkadang, kalau gue udah bingung banget, gue melakukan voting untuk mengambil keputusan. Ehehehe...
Jadi, menyelesaikan masalah itu harus cepat dan tepat. Makanya, antara logika dan perasaan itu harus seimbang. Karena pada dasarnya kedua jalur itu saling melengkapi. Dengan logika, kita bisa menyelesaikan masalah dengan cepat. Dengan perasaan, kita bisa menyelesaikan masalah tanpa harus ada yang merasa kurang puas. Makanya kita juga harus pintar menentukan, mana masalah yang harus diselesaikan dengan perasaan dan mana masalah yang harus diselesaikan dengan logika. Karena ga semua masalah dapat diselesaikan hanya dengan logika sendiri, atau perasaan sendiri. Keduanya penting karena saling melengkapi. Bagaikan laki-laki (logika) dan perempuan (perasaan) yang bersatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar