A.
Pengertian
Stasiun Penyiaran
Penyiaran adalah keseluruhan proses penyampaian siaran yang
dimulai dari penyiapan materi produksi, proses produksi, penyiapan
bahan siaran, kemudian pemancaran sampai kepada penerimaan siaran tersebut oleh
pendengar/ pemirsa disuatu tempat. Istilah “stasiun penyiaran” muncul ketika undang-undang pasal 31 menjelaskan
bahwa “lembaga penyiaran yang
menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi terdiri atas
stasiun penyiaran jaringan dan atau stasiun penyiaran lokal”. Unsur-unsur
stasiun penyiaran yang meliputi : kepemilikan, perizinan, fungsi, kegiatan, dan
sebagainya.
Terdapat lima syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk dapat
terjadinya penyiaran. Kelima syarat tersebut adalah :
1.
Spektrum frekuensi radio
2.
Sarana pemancaran/transmisi
3.
Adanya siaran (program atau acara)
4.
Adanya perangkat penerima siaran (receiver)
5.
Dapat diterima secara serentak/bersamaan
Oleh karena itu yang termasuk dalam media penyiaran tentunya
adalah medi televisi dan media
radio atau
hanya media yang bersifat elektronik saja.
B.
Lembaga-Lembaga
Penyiaran
Dalam UU RI No. 32 tahun 2002, pada pasal 13 ayat 2 ditegaskan bahwa jasa
penyiaran diselenggarakan oleh :
1.
Penyiaran Publik
Secara khusus, publik dalam istilah penyiaran publik diposisikan
dalam dua pengertian, yakni sebagai khalayak (pemirsa atau pendengar) dan
sebagai partisipan yang aktif. Pemahaman ini terkait dengan kebebasan
menyatakan pendapat, hak untuk mendapatkan informasi, serta upaya pemberdayaan
masyarakat dalam proses menuju civil society.
Sementara mengenai syarat penyiaran publik (public service broadcasting),
diantaranya adalah media yang: 1) tersedia (available)
secara “general-geographis”, 2) memiliki concern terhadap
identitas dan kultur nasional, 3) bersifat independen, baik dari kepentingan
negara maupun kepentingan komersil, 4) memiliki imparsialitas program, 5)
memiliki ragam variasi program, dan 6) pembiayaannya dibebankan kepada pengguna
media. Definisi tersebut mengandaikan bahwa penyiaran publik dibangun
didasarkan pada kepentingan, aspirasi, gagasan publik yang dibuat berdasarkan
swadaya dan swamandiri dari masyarakat atau publik pengguna dan pemetik manfaat
penyiaran publik. Oleh karena itu, ketika penyiaran publik dibangun bersama
atas partisipasi publik, maka fungsi dan nilai kegunaan penyiaran publik
tentunya ditujukan bagi berbagai kepentingan dan aspirasi publik.
Secara filosofis, urgensi kehadiran media penyiaran publik
berangkat dari kehidupan publik yang dilihat dari posisi sebagai warga
masyarakat hanya dalam dua ranah, yaitu dalam lingkup kekuasaan dan lingkup
pasar. Padahal, masyarakat memiliki ruang tersendiri untuk berapresiasi,
berkarya, berpendapat, dan bersikap terhadap realitas yang ada di
sekelilingnya. Oleh karena itu, munculnya pandangan dikotomis yang mengabaikan
peran dan posisi warga negara dalam konteks hubungan sosial dan bernegara telah
mengabaikan adanya kenyataan tentang ranah publik yang diharapkan dapat menjadi
zona bebas dan netral yang di dalamnya berlangsung dinamika kehidupan yang
bersih dari kekuasaan dan pasar. Habermas menyebut ranah ini sebagai ranah
publik atau public sphere.
Secara garis besar, ada empat alasan mengapa lembaga penyiaran
publik itu penting dalam sistem demokrasi. Pertama, dalam
konteks kehidupan demokrasi dan penguatan masyarakat sipil, sejatinya, publik
berhak mendapatkan siaran yang lebih mencerdaskan, lebih mengisi kepala dengan
sesuatu yang lebih bermakna dibandingkan sekedar menjual kepala kepada pemasang
iklan melalui logika rating.
Kedua, warga berhak memperoleh siaran yang
mencerdaskan tanpa adanya batasan geografis, lebih-lebih sosio-politis. Argumen
kedua ini penting karena lembaga penyiaran swasta akan selalu berfikir dalam
kerangka besaran jumlah penduduk dan potensi ekonomi untuk membuka jaringannya.
Akibatnya, daerah-daerah yang miskin dan secara ekonomi tidak menguntungkan
tidak akan mendapatkan layanan siaran swasta.
Ketiga, penyiaran publik merupakan entitas
penyiaran yang memiliki concern lebih
terhadap identitas dan kultur nasional. Jika lembaga penyiaran swasta acapkali
dituduh menjadi bagian dari apa yang sering disebut sebagai imperalisme budaya,
maka lembaga penyiaran publik justru sebaliknya. Keberadaan lembaga penyiaran
publik penting dalam rangka menjaga identitas dan kultur nasional yang bersifat
dinamis.
Keempat, demokrasi media niscaya memerlukan lembaga
penyiaran yang bersifat independent, baik
dilihat dari kepentingan negara maupun komersial. Hal ini penting digarisbawahi
karena lembaga penyiaran yang dikontrol negara akan cenderung menjadi ideological state aparatus,
sedangkan lembaga penyiaran yang dikontrol swasta akan mengakibatkan penggunaan
logic of acumulation and exclusion sebagai penentu apa
dan bagaimana sesuatu ditayangkan. Sebagaimana nanti dapat dilihat dalam
pembahasan bab selanjutnya, dominasi lembaga penyiaran swasta telah membuat
hanya kelompok masyarakat tertentu yang direpresentasikan dalam media penyiaran
nasional. Demikian juga dengan tayangan yang hanya memenuhi keinginan pasar
dibandingkan dilandasi oleh usaha yang sungguh-sungguh untuk turut serta,
katakanlah, mencerdaskan kehidupan masyarakat.
2.
Penyiaran Swasta
Secara mendasar, lembaga penyiaran swasta
bersifat komersial dan menggantungkan hidupnya dari pemasukan iklan. Namun,
sebagai institusi yang mempergunakan ranah publik, ia harus terikat oleh
ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan di bidang penyiaran.
Dalam konteks televisi swasta Indonesia, kecenderungannya sangat sentralistik.
Untuk itulah, sistem penyiaran swasta berjaringan menjadi sebuah keniscayaan.
Alasannya, televisi swasta nasional mampu menjangkau 80% penduduk di Indonesia.
Sementara penduduk yang mempunyai akses terhadap televisi sebesar 67%. Jadi,
jumlah potensial viewers-nya berkisar
sekitar 118 juta penduduk. Ini berarti sekitar 118 juta penduduk mempunyai
akses terhadap televisi. Masing-masing televisi sudah menjangkau antara 60
sampai dengan 99 % penduduk yang mempunyai akses terhadap televisi. Ada dua hal
yang dapat dicatat dari sini. Pertama, jumlah
penduduk yang mampu mengakses televisi baru separuhnya. Kedua, di sisi lain, televisi sudah
mampu menjangkau sekitar 60 sampai 90% dari mereka yang mempunyai akses. Ini
sebenarnya sudah dapat dikatakan sangat tinggi mengingat di AS saja regulasinya
mengatakan bahwa seseorang dapat memiliki stasiun televisi dalam jumlah yang
tidak terbatas, tetapi tidak boleh menjangkau lebih dari 39% television’s household atau nation’s TV homes.
Bila dilihat dari yang lain, maka pelaksanaan stasiun televisi
berjaringan sebenarnya adalah sebuah kesempatan (opportunity)
yang memberikan jalan dan kelonggaran bagi stasiun televisi nasional yang saat
ini siaran, baik bagi yang sudah untung besar maupun yang masih
“berdarah-darah”. Stasiun televisi berjaringan ini akan ikut membangun
berkembangnya televisi lokal, merangsang dan membangun dinamika ekonomi dan
sosial dan budaya lokal. Rumah produksi lokal akan tumbuh, biro iklan lokal,
lembaga “rating” lokal juga akan tumbuh, dan
lain-lain kegiatan sosial ekonomi dan budaya. Hal semacam ini tentu saja akan
mendapat dukungan ekonomi dan sosial lokal. Posisi televisi jaringan semacam
ini akan sangat kuat posisinya di tingkat lokal karena mendapat dukungan lokal,
yang pada gilirannya menjadi stasiun televisi berjaringan yang sangat kuat
secara nasional, baik dilihat dari kaca mata sosial, budaya maupun ekonomi. Di
sini, diperlukan sebuah pemimpin stasiun televisi yang visioner, yang
sebenarnya sudah dituntun oleh Undang-undang Penyiaran. Dalam hubungan ini,
bila semua stasiun televisi nasional melakukan transformasi seperti yang telah
disebutkan di atas, maka akan tercipta sebuah sistem penyiaran yang sehat, yang
menjamin adanya “diversity of ownership” dan “diversity of content”, yang akan
memperkuat dan memperkaya bangsa ini baik secara sosial, ekonomi, budaya dan
politik.
3.
Penyiaran Komunitas
Media komunitas hadir sebagai
media alternatif yang mengusung keberagaman kepemilikan (diversity of ownership), yang
juga mendorong adanya keberagaman isi (diversity of
content) dalam program-program siaran karena melayani komunitasnya
yang juga beragam. Kemudian, oleh karena keberagaman kepemilikan itulah,
masyarakat bisa melakukan kontrol sendiri (self
controlling) terhadap isi siaran. Pengelola lembaga penyiaran
komunitas, tidak bisa sewenang-wenang menayangkan program siaran yang tidak
sesuai dengan nilai, aturan, maupun budaya lokal.
Media komunitas pada dasarnya
memainkan peran yang hampir sama dengan media massa pada umumnya, hanya saja
pada wilayah (level of playing field)
yang terbatas. Dibatasinya jangkauan layanan jenis media penyiaran ini justru
diharapkan dapat memberikan layanan secara lebih spesifik dan membuka
partisipasi secara lebih sempurna kepada komunitasnya. Semakin luas jangkauan
siaran akan semakin sulit mendapatkan partisipasi dari masyarakat, karena
apapun media ini merupakan refleksi kebutuhan komunitasnya. Dengan demikian,
ada pula fungsi kontrol sosial yang dimilikinya, fungsi menghibur, mendidik dan
menginformasikan berita yang benar-benar merefleksikan kebutuhan komunitasnya.
Selanjutnya, dalam rangka
menjawab kebutuhan kebutuhan tersebut, empat prinsip mendasar yang harus
diperhatikan dalam penyelenggaraan penyiaran komunitas. Pertama, berskala lokal dan mendorong partisipatif
warga. Karena tipologinya yang mendorong partisipasi warga
masyarakat, maka skala terbatas merupakan hal penting yang harus
dipertimbangkan. Dengan keterbatasan jangkauan yang dimiliki, diharapkan dapat
memberi kesempatan pada setiap prakarsa warga komunitas untuk tumbuh dan tampil
setara sejak tahap perumusan program siaran, pengelolaan hingga kepemilikan.
Untuk mampu menjawab kebutuhan komunitasnya, penyiaran tersebut haruslah
membangun partisipasi warga masyarakatnya seluas mungkin.
Kedua, teknologi siaran yang
dipergunakan sesuai dengan kemampuan ekonomi komunitas dan bukan bergantung
pada campur tangan pihak luar. Untuk membangun sense
of belonging yang tinggi, partisipasi masyarakat dalam hal
penyediaan peralatan sesuai dengan kemampuannya merupakan hal penting yang
harus dipertimbangkan meskipun bukan tidak mungkin sumber pembiayaan dari luar
komunitas. Jika sumber daya infastruktur berasal dari luar komunitas, maka
perlu pendekatan yang tepat agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian
hari. Seringkali, peralatan yang didatangkan dan didukung pihak luar
menimbulkan masalah saat terjadi kerusakan, yakni keengganan warga masyarakat
untuk memperbaikinya. Sebaliknya, dengan pembiayaan yang keluar dari pembiayaan
warga secara kolektif, akan mendapat dukungan penuh dari warga masyarakat
manakala terjadi kerusakan pada peralatan tersebut.
Ketiga, didorong oleh misi
kebaikan bersama komunitas dan bukan mencapai tujuan keuntungan uang. Sejak awal, penyiaran komunitas
harus mendeklarasikan misinya kepada masyarakat, termasuk operasionalisasinya
yang mengandalkan semangat kesukarelawan penyiar dan pengelolanya. Jika tidak,
maka akan sulit untuk menjaga semangat tersebut yang telah dimunculkan sedari
awal pendirian.
Keempat, mengemukakan
masalah-masalah bersama untuk dicarikan solusinya sehingga mendorong
keterlibatan aktif komunitas dalam upaya perubahan sosial-politik. Sebagai media milik bersama
(masyarakat), persoalan-persoalan bersama yang ada di masyarakat layak
disiarkan dan diadvokasi. Ketika persoalan-persoalan tersebut diangkat, maka
harapannya semakin banyak warga masyarakat yang concern
dengan persoalan bersama (karena mendengar dan mengetahuinya sehingga mendorong
kesadaran akan pentingnya masalah tersebut diselesaikan), dan pada gilirannya
semakin memperluas keterlibatan warga masyarakat dari berbagai lapisan yang ada
di wilayah tersebut. Kondisi demikian akan mendorong terjadinya perubahan iklim
sosial politik ditingkat lokal (desa/kampung) [Iwan
Awaluddin Yusuf ].
4.
Penyiaran Berlangganan
Penyiaran
berlanggananadalah jasa penyiaran saluran televisi yang dilakukan khusus untuk pemirsa yang bersedia membayar
(berlangganan) secara berkala. Jasa ini biasanya disediakan dengan menggunakan
sistem digital ataupun analog melalui media satelit. Saat ini sistem penyiaran
dengan digital adalah yang paling lazim digunakan.
Perkembangan televisi berbayar atau berlangganan ini tergolong
cukup signifikan di Indonesia. Menurut data yang
diungkap Direktur Utama Indovision, Rudy Tanoesoedibjo, pasar potensial
televisi berbayar di Indonesia pada dua tahun lalu (2006) berada di kisaran 12
juta orang atau sekitar 22% dari keseluruhan 57 juta pemilik TV rumahan. Dan
bukan mustahil angka ini akan meningkat tajam. Konsumsi televisi berbayar ini
selain melibatkan faktor ekonomi, faktor sosial pun menjadi pertimbangan.
Monotomi siaran atau tayangan televisi terrestrial yang ada saat ini, sedikit
banyak berpengaruh pada costumer sovereignity dalam memilih tayangan
yang berkualitas. Alternatif inilah yang ditawarkan oleh televisi berbayar.
Di Indonesia, industri televisi berlangganan
beroperasi dengan menggunakan media penyaluran yang beragam, mulai dari satelit, kabel, dan terestrial. Namun, hanya
media penyiaran melalui satelit dan kabel saja yang memiliki pangsa pasar yang
besar. Berikut beberapa lembaga media penyiaran yang ada di Indonesia beserta
media penyalurannya :
Mekanisme penyiaran satelit untuk televisi berlangganan umumnya
sama, dimulai ketika provider memancarkan siarannya ke satelit (uplink)
lalu kemudian sinyal tersebut ditransfer dan dikirim lagi menuju ke bumi (downlink).
Di Indonesia kita bisa mengakses siaran-siaran TV dari Amerika Serikat, Jepang, Inggris, dll. Siaran tersebut
pertama kali dipancarkan dari tempat produksi siaran dilakukan, kemudian
dipancarkan kembali melalui satelit di Indonesia sampai akhirya kita bisa
menikmati ratusan tayangan dari berbagai negara di dunia. Siaran dari satelit
penyedia tersebut dapat diterima pelanggan yang telah dilengkapi alat bernama decoder.
Dengan menggunakan media penyaluran satelit, suatu program televisi dapat
dinikmati sejauh kita memiliki akses untuk menangkap sinyal uplink satelit
induk. Selain itu, yang menarik dari sistem berlangganan program TV dengan
menggunakan satelit adalah adanya pengacakan sinyal (scramble). Artinya,
sinyal yang dikirim oleh satelit diacak terlebih dulu, sehingga hanya orang
yang memiliki decoder saja yang dapat mengakses program siaran tersebut.
Referensi :
ü http://dara-maghfirah92.blogspot.com/2013/05/sistem-penyiaran-radio.html
ü http://edwi.upnyk.ac.id/DASBRO_4.pdf
ü http://id.wikipedia.org/wiki/Televisi_berlangganan
ü Effendy Gazali, 2003, Kontruksi Sosial Lembaga Penyiaran,
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, Jakarta.
ü Undang Undang Nomor 32
tahun 2002.
ü Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.
52 Tahun 2005 tentang penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan
ü http://sp.beritasatu.com/ekonomidanbisnis/regulasi-tv-berbayar-akan-ditata-ulang/42041
ü https://bincangmedia.wordpress.com/tag/lembaga-penyiaran-swasta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar